Beranda | Artikel
Hukum Shalat setelah Subuh dan Ashar
Rabu, 21 Juni 2023

Pertanyaan:

Apakah benar dilarang shalat setelah subuh dan ashar? Bagaimana dengan shalat tahiyatul masjid ketika ada pengajian di masjid atau shalat sunnah thawaf di masjidil haram ketika dilakukan setelah subuh atau setelah ashar?


Jawaban:

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in,

Benar, terdapat larangan untuk melakukan shalat setelah subuh hingga terbit matahari dan larangan untuk melakukan shalat setelah ashar hingga matahari tenggelam. 

Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata:

أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ نَهَى عن بَيْعَتَيْنِ، وعَنْ لِبْسَتَيْنِ وعَنْ صَلَاتَيْنِ: نَهَى عَنِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الفَجْرِ حتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وبَعْدَ العَصْرِ حتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، وعَنِ اشْتِمَالِ الصَّمَّاءِ، وعَنِ الِاحْتِبَاءِ في ثَوْبٍ واحِدٍ، يُفْضِي بفَرْجِهِ إلى السَّمَاءِ، وعَنِ المُنَابَذَةِ، والمُلَامَسَةِ

“Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam melarang dua bai’at, dua pakaian dan dua shalat; melarang shalat setelah shalat subuh hingga terbit matahari dan melarang shalat setelah Ashar hingga terbenam matahari. Rasulullah melarang isytimalus shamma’ dan duduk ihtiba dengan hanya menggunakan satu kain. Dan Rasulullah melarang akad munabadzah dan mulamasah” (HR. Al-Bukhari no.584).

Dari Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu, ia berkata:

أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ : نَهَى عنِ الصَّلاةِ بعدَ الفَجرِ حتَّى تطلُعَ الشَّمسُ ، وعنِ الصَّلاةِ بعدَ العصرِ حتَّى تغرُبَ الشَّمسُ

“Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam melarang shalat setelah subuh sampai terbit matahari. Dan melarang shalat setelah ashar sampai tenggelam matahari” (HR. At-Tirmidzi no. 183, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi).

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, ia berkata:

نَهَى رسولُ اللَّهِ عنِ الصَّلاةِ بعدَ الصُّبحِ ، حتَّى الطُّلوعِ . وعَنِ الصَّلاةِ بعدَ العَصرِ حتَّى الغروبِ

“Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam melarang shalat setelah subuh sampai terbit (matahari). Dan melarang shalat setelah ashar sampai tenggelam (matahari)” (HR. An-Nasa’i no. 565, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih An-Nasa’i).

Namun shalat yang dilarang untuk dikerjakan pada dua waktu tersebut adalah shalat yang ghayru dzawatil asbab. Adapun shalat yang dzawatil asbab, shalat yang memiliki sebab khusus, boleh dikerjakan walaupun di dua waktu tersebut. 

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, 

“Ini semuanya hadits-hadits yang shahih. Dan waktu-waktu tersebut disebut dengan waktu-waktu terlarang untuk shalat. Seorang Muslim tidak boleh shalat sunnah pada waktu-waktu tersebut. Adapun shalat yang terluput, boleh dilakukan di waktu-waktu tersebut. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam:

من نام عن الصلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها لا كفارة لها إلا ذلك

Barang siapa yang ketiduran sehingga terluput shalat, atau kelupaan, maka hendaknya ia kerjakan shalat tersebut ketika ingat. Tidak ada kafarah kecuali itu“. (HR. Al-Bukhari no.597, Muslim no. 684).

Dalam hadits ini tidak dikecualikan waktu-waktu terlarang. Maka jika seseorang ketiduran sehingga terluput shalat, kemudian ia bangun sebelum terbit matahari, atau ketika terbit matahari, ia hendaknya kerjakan ketika itu. Jika ia ketiduran sehingga tidak shalat ashar dan tidak bangun kecuali ketika matahari sudah mulai menguning, ia juga hendaknya kerjakan ketika itu, berdasarkan hadits yang shahih ini.

Dibolehkan juga shalat jenazah. Jika shalat jenazah dilakukan di waktu sesudah ashar atau setelah subuh, tidak mengapa. Shalat jenazah boleh dilakukan di dua waktu yang panjang tersebut, yaitu setelah ashar dan setelah subuh, sehingga shalat jenazah tidak perlu ditunda-tunda.

Demikian juga shalat kusuf (gerhana), boleh dilakukan jika terjadi gerhana matahari setelah shalat ashar. Karena shalat kusuf termasuk shalat sunnah yang dzawatul asbab (memiliki sebab). Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا، وادْعُوا

Jika kalian melihat gerhana, maka shalatlah”. (HR. Al-Bukhari no.1043).

Dan tidak ada waktu yang dikecualikan dalam hal ini.

Demikian juga shalat tahiyyatul masjid dan shalat sunnah setelah thawaf. Jika seseorang masuk masjid setelah ashar untuk berniat duduk di dalamnya, maka yang tepat, ia shalat dua rakaat shalat tahiyyatul masjid. Karena shalat tahiyyatul masjid juga termasuk dzawatul asbab. Maka boleh mengerjakannya walaupun di waktu larangan shalat. Atau jika seseorang masuk masjid setelah shubuh untuk berniat duduk di dalamnya hingga terbit matahari, atau untuk menghadiri majelis ilmu, maka hendaknya ia shalat dua rakaat tahiyyatul masjid. Inilah yang tepat. Karena ia termasuk dzawatul asbab.

Atau seseorang melakukan thawaf di Mekkah setelah ashar di Ka’bah. Maka hendaknya ia kerjakan shalat dua rakaat setelah thawaf. Karena ini shalat yang termasuk dzawatul asbab. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam:

لا تَمْنَعُوا أحدًا طَافَ بهِذا البيتِ وصلَّى أَيَّةَ ساعَةٍ شاءَ من لَيْلٍ أوْ نَهارٍ

Tidak terlarang seseorang yang melakukan thawaf untuk shalat di Baitullah di waktu kapanpun yang ia kehendaki, baik siang ataupun malam” (HR. Ahmad no.16753, dishahihkan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Al-Musnad).

Dengan demikian, Anda ketahui wahai penanya, bahwa shalat yang terluput boleh dilakukan di waktu-waktu terlarang. Dan Anda ketahui juga bahwa shalat yang dzawatul asbab seperti shalat jenazah setelah shalat ashar atau setelah shubuh, demikian juga shalat gerhana, shalat tahiyyatul masjid, shalat thawaf, ini semua boleh dilakukan di waktu terlarang. Karena semuanya termasuk dzawatul asbab. Dan semua shalat ini diperintahkan oleh Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam tanpa mengecualikan waktu-waktu yang terlarang. Ini menunjukkan bahwa shalat-shalat tersebut boleh dilakukan di waktu terlarang.

Adapun shalat sunnah yang dilakukan tanpa sebab (shalat sunnah mutlaq) jika dikerjakan setelah subuh, maka ini terlarang. Atau juga jika dikerjakan setelah ashar, ini juga terlarang.

(Fatawa Nurun ‘alad Darbi lis Syaikh Ibni Baz no. 494, pertanyaan ke-10).

Terkait dengan shalat setelah subuh, batasan akhir larangannya bukanlah ketika matahari mulai terbit. Namun batasan akhirnya adalah ketika matahari terbit sempurna atau ketika matahari sudah meninggi setinggi tombak. Karena ketika syuruq atau matahari terbit, itu masih termasuk dalam waktu yang terlarang untuk shalat. Dan mulai dibolehkan shalat kembali ketika sudah masuk waktu dhuha. Dari Amr bin Abasah radhiyallahu’anhu, ia berkata:

قدِم النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم المدينةَ، فقدِمْتُ المدينةَ، فدخلتُ عليه، فقلتُ: أخبِرْني عن الصلاةِ، فقال: صلِّ صلاةَ الصُّبحِ، ثم أَقصِرْ عن الصَّلاةِ حين تطلُعُ الشمسُ حتى ترتفعَ؛ فإنَّها تطلُع حين تطلُع بين قرنَي شيطانٍ، وحينئذٍ يَسجُد لها الكفَّارُ، ثم صلِّ؛ فإنَّ الصلاةَ مشهودةٌ محضورةٌ، حتى يستقلَّ الظلُّ بالرُّمح

“Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, ketika itu aku pun datang ke Madinah. Maka aku pun menemui beliau, lalu aku berkata: wahai Rasulullah, ajarkan aku tentang shalat. Beliau bersabda: kerjakanlah shalat shubuh. Kemudian janganlah shalat ketika matahari sedang terbit sampai ia meninggi. Karena ia sedang terbit di antara dua tanduk setan. Dan ketika itulah orang-orang kafir sujud kepada matahari. Setelah ia meninggi, baru shalatlah. Karena shalat ketika itu dihadiri dan disaksikan (Malaikat), sampai bayangan tombak mengecil” (HR. Muslim no. 832).

Sebagian ulama mengatakan bahwa waktu dhuha itu sekitar 15 menit setelah matahari terbit. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

ووقتها يبتدئ من ارتفاع الشمس قيد رمح في عين الناظر، وذلك يقارب ربع ساعة بعد طلوعها

“Waktu shalat dhuha adalah dimulai ketika matahari meninggi setinggi tombak bagi orang yang melihatnya (matahari). Dan itu sekitar 15 menit setelah ia terbit” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, juz ke-11, hal. 397).

Dan terkait larangan shalat setelah shalat ashar, terdapat hadits shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat sunnah setelah ashar. Dari Aisyah radhiyallahu’anha, ia berkata:

صَلاتَانِ مَا تَرَكَهمَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ بَيْتِيْ قَطّ سِرًا وَلا عَلانِيَةً رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ اْلفَجْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ اْلعَصْرِ

“Ada dua shalat yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam di rumahku. Beliau kerjakan dengan suara lirih tidak dengan suara keras. Yaitu shalat dua raka’at sebelum subuh dan dua raka’at setelah ashar” (HR. Al-Bukhari no. 592, Muslim no. 835).

Sehingga maksud dari larangan shalat setelah ashar adalah ketika matahari menjelang tenggelam. Adapun shalat setelah ashar ketika matahari masih tinggi, itu tidak mengapa, bahkan terdapat contoh dari Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam,

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang berbunyi “tidak ada shalat setelah ashar sampai tenggelam matahari” dikhususkan dengan hadits lain yang menyatakan itu terjadi jika matahari sudah menguning (hampir tenggelam). Adapun bila matahari masih putih dan terang, maka shalat pada saat itu dikecualikan (tidak terlarang). Berdasarkan hadits dari Ali radhiyallahu’anhu secara marfu’ dengan lafazh:

نهَىَ عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ العَصْرِ إِلاَّ وَ الشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ

“Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam melarang shalat setelah ashar kecuali ketika matahari masih tinggi”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, An-Nasa’i, Al-Baihaqi, Ath-Thayalisi, Ahmad, dan yang lainnya dengan sanad yang shahih. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hazm, Al-Hafizh Al-Iraqi, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan ulama lainnya” 

(Irwaul Ghalil, 2/237).

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/42296-hukum-shalat-setelah-subuh-dan-ashar.html